Indah kabar dari rupa
Oleh Eddy Ngganggus
Ada tiga orang yang sedang berdiskusi yakni Peneliti sejarah, wartawan yang menulis tentang sejarah dan pelaku sejarah.
Saya mengamati mereka bicara tentang sejarah. “Menulis sejarah berbeda dengan mengalami sejarah dan meneliti sejarah . Sejarah itu tidak bisa bohong, fakta sejarah tidak pernah menuntut untuk dituliskan, ia tidak bisa dihapuskan, tak bisa dielak lagi”, demikian kata pelaku sejarah. Salah satu yang paling jujur di muka bumi adalah sejarah. Ia telah terjadi Tidak ada yang bisa merubah apa yang sudah terjadi.
Seorang peneliti sejarah melakukan penulisan fakta sejarah sejarah dan mengajar bagaimana mengungkapakan sejarah dengan metoda keilmuanan berdasarkan data empirik . Seorang wartawan menyunting berita dengan gaya penulisan reportase berita kepada pembaca. Ketiganya memiliki orientasi yang berbeda.
Sejarah terus hidup, ia hidup dalam buah bibir atau isu dan dalam ingatan. Sejarah memiliki dua organ yakni peristiwa atau gejala atau fakta, lalu yang kedua adalah pelaku sejarahnya, ada “Peristiwa” dan ada “Pelaku” peristiwa. Peristiwa sejarah tidak bisa dibohong, sebaliknya pelaku sejarah bisa mengalur dan mengalirkan , atau menyiasati , bahkan bisa memanipulasi penulisan dan pengisahan sejarah. Penyiasatan sejarah ini sering diungkapan dengan sindiran dalam peribahasa Indah kabar dari rupa.
Lalu soal dia yang menulis sejarah seperti si Peneliti tadi, apa yang diungkapkannya hanyalah merupakan pengakuan redaksional yang tertulis saja, bukan satu-satunya rupa sejarah itu. Yang dibuat sang peneliti hanyalah kegiatan kultural yang akademik dalam versi menceriterkan kembali (semacam telling story) tetapi sekali lagi bukan sejarah itu sendiri. Mengapa ? karena tulisan sejarah tidak pernah bisa menggantikan keutuhan dan kebenaran fakta sejarah itu sendiri. Dari sini kita bisa mengerti mengapa kisah sejarah bisa ditulis berulang-ulang dengan ragam rupa sesuai sudut pandang dan kepentingan penulisnya tetapi fakta sejarah hanya ada satu tidak bisa lebih.
Beberapa premis di atas mengantar saya pada sebuah “kengerian” bila di saat musim kampanya ini ada kandidat yang bernai ber”bohong” demi kursi kepala daerah yang sedang di rayu mereka melalui suara rakyat pada PILKADA bulan Nopember 2024 nanti. Apa yang dijanjikan oleh calon kepala daerah kepada rakyat yang memilih mereka atau juga pada rakyat yang abstain kelak akan menjadi ceritera yang tidak bisa dihapus. Fakta dari apa yang dijanjikan tidak bisa di hapus, bila ada peneliti dan wartawan kelak yang mau membelanya nanti , itu hanyalah membela sudut pandang sang pembuat sejarahnya saja yakni si calon yang berjanji dalam kampanye ,tetapi tidak bisa mengubah fakta sejarah apa yang sudah diucapkan atau dijanjikannya.
Lalu apa yang bisa dilakukan untuk “menghindar” kengerian ini ?
Pembuat sejarah (baca calon kepala daerah) mesti menjamin moralitas janjinya, ia tidak boleh bohong. Mengapa ? karena kebohongan suatu waktu pasti terungkap. Sifat janji itu adalah satu , sekali diungkapkan tidak bisa hilang ,akan ada menjadi satu fakta. Adanya fakta itu kekal , tidak seperti adanya pembuat fakta yang adalah fana, suatu waktu hilang , mati dari ada menjadi tiada. Keheningan itu bisa mengganti kebenaran, sebaliknya di dalam riuh redah banyak bicara bisa jadi ada banyak kebohongan di sana. Apalagi sifat pembohon adalah dia yang membiarkan dirinya berbohong sekali, akan lebih mudah melakukannya untuk kedua kalinya. Bandingkan sekarang dengan mereka yang pernah berbual dan berjanji ini itu , namun faktanya kosong, jauh panggang dari api. Angin surga dihembus dalam janji-janjinya , namun angin hantu yang yang di rasakan, heheh…..
Agar tidak di cap pembohong yang hanya bisa membawa indah kabar dari rupa. Janganlah berbohong, hematlah dengan dengan kata-katamu saat kampanye bila perlu diet kata-kata, simpan itu untuk dikonkritkan pada saat sudah terpilih menjadi Kepala Daerah nanti.
Komentar
Posting Komentar