Setiap relasi manusia adalah juga konflik
Eddy Ngganggus
Beda "sadar diri" dari "sadar akan diri". Di dalam "sadar diri" selalu ada jarak antara kesadaran dan diri. Tetapi di dalam sadar akan diri tidak ada jarak antara kesadaran dan dirinya (keduanya lebur menjadi satu hasrat), karena itu hal ini tidak baik, karena Kesadaran seperti itu membuat ia hanya ingat dirinya sendiri, dan menjarakan dirinya dari orang lain.
Tiap kebenaran dan ketidak benaran atau tiap tindakan mengandung keterlibatan lingkungan dan subyetktivitas manusia. Apa lingkungan itu dan siapa subyek itu ? Yah... Mereka yang sependapat tentang itu. Yang tidak sependapat adalah mereka yang lain, yang berpotensi menjadi serupa jika mereka juga berada pada posisi yang sama.
Lalu apa bedanya dengan saya ? Tidak ada bedanya selama saya tidak bisa menunjukan buah yang berbeda dari yang mereka hasilkan. Mereka akan berbeda dengan saya atau dengan kita bila saat ini kita bisa merealisasikan karya yang baik dan benar untuk kesejahteraan orang banyak dalam lingkup intersubyektivitas yaitu bersama dengan yang lain. Janganlah hendaknya neraka adalah orang lain, surga adalah saya.
Dalam drama pintu tertutup Sartre pernah mengungkapkan Dosa asal saya adalah adanya orang lain, lalu saya menambahkan juga agar adil, Kesucian saya adalah adanya kesucian orang lain. Dari sini kita bisa berkesimpulan baik dosa maupun suci adanya karena adanya kita bersama.
Bertolak dari situasi ini maka baiknya kita berusaha memungkinkan serta merencanakan sebuah kehidupan yang lebih manusisawi.
Sebuah moral baru untuk kita ,"saya menjadi begini, karena orang lain, demikian juga orang lain menjadi begini karena saya". Jika ada konflik itu karena saya, jika ada damai juga itu karena ada saya. Relasi saya dan kau adalah relasi konflik, juga relasi damai. Saat seperti begini dibutuhkan pihak ketiga, siapa,dia ? Dialah "KITA". Aku dan engkau akan menjadi konflik tetapi, tetapi jika terminologinya menjadi KITA , niscaya itu akan menjadi damai.
Pihak ketiga ini bisa melupakan saya atau engkau, bisa meniadakan ego, melahirkan kebersamaaan yang merupakan salah satu syarat solidaritas.
Mari kita belajar untuk "ingini" yang ada, jangan "ingini" yang belum ada. Jangan sampai kita mengejar bayangan, malah semakin dikejar ia akan semakin menjauhi. Kita memang makhluk yang bebas , dengan kebebasan baru kita bisa bertindak. Tetapi kebebasan kita adalah kebebasan yang terbatas ,seperti kebebasan si lumpuh , kebebeasan sisakit. Sebebas-bebasnya mereka tentu mereka harus bisa mengendalikan dirinya agar jangan sampai kebebasaanya itu mencelakakan dirinya. Mereka bebas dalam kelumpuhan dan kesakitannya.
Manusia yang saling mencintai tidak bebas konflik ,apalagi manusia yang saling membenci, namun itu tidak berpretensi kita boleh memelihara cinta dengan kadar seadanya, karena kadang-kadang situasi tanpa cinta adalah cara kontras untuk mewujudkan kadar cinta sejati. Karena dari kontras kita bisa belajar yang lain dengan lebih militan. Karena faktanya kita tidak bisa mengatakan sesorang itu ganteng, cantik, kalau kita tidak pernah melihat yang buruk.
Liliba, senja hari ,18 Pebruari 2024.

Komentar
Posting Komentar