Manusia setengah mesin dan mesin setengah manusia, refleksi filsafat pragmatis

Oleh Eddy Ngganggus

Salah satu ironi manusia era ini menurut Prof. Fransisco Budi Hadirman , "manusia semakin  mirip mesin, sebaliknya mesin semakin  mirip manusia".

Lain lagi pandangan Noval Harari, ia menegaskan salah satu penampakan manusia modern saat ini adalah hampir sebagian pekerjaannya di gantikan oleh mesin. Mesin semakin mendominasi  hidup manusia. Apa yang dulu di anggap merupakan hasil kerja ilahi, kini pekerjaan itu bisa di lakukan oleh mesin. Misalnya hujan. Manusia purba memandang asal muasal hujan itu hanya karena pekerjaan ilahi. Tetapi saat ini , manusia juga bisa mendatangkan hujan, dengan teknologi hujan buatan, datangnya hujan buatan itu oleh manusia terkait dengan kemampuan teknologi manusia . Atau perihal pergi ke bulan. Manusia purba meyakini tidak ada manusia yang bisa pergi ke bulan karena di sanalah tempat tinggal para dewa, hanya dewa yang bisa pergi ke sana, itu sangat ilahia. Namun teknologi sekarang memungkinkan manusia tidak hanya pergi ke bulan saja , tetapi lebih jauh dari bulanpun sudah bisa di jangkau. Apa yang dulu merupakan hal metafisis kini hal itu bisa di jangkau secara fisis melalui teknologi berkat kesanggupan akal pikiran fisis manusia. 


Lebih maju lagi saat ini semua pekerjaan mesin itu dilakukan secara digital. Sebagian pekerjaan manusia saat ini merujuk pada petunjuk mesin. Masa depan manusia bakal dikendalikan oleh platform digital.

Saya sendiri berpandangan bahwa ,manusia semakin meniru mesin sebaliknya mesin semakin meniru manusia, yang saya diksikan dengan sebutan “manusia setengah mesin & mesin setengah manusia” . Apakah ini ambigu ? Ataukah itu anomali ?


Alat pikir manusia yakni otaknya akan dialihkan perannya oleh mesin. Otak manusia hanya menjadi sarana lintasan berpikir sebentar saja, lalu tugas mesin untuk menyimpan dan mengerjakan atau mengolah apa yang diinginkan oleh manusia . Otak yang tadinya berfungsi sebagai alat untuk berpikir apa yang dibutuhkan manusia akan di gantikan oleh mesin.

Lalu otak manusia akan di perankan untuk apa dan menjadi apa ? saya berpandangan suatu waktu fungsi otak manusia akan tersisa menjadi alat untuk berpikir saja tetapi tidak untuk mengerti (pada sesi lain kita akan ngobrol tentang hal ini). 


Manusia semakin bergantung pada mesin. Mesin telah menjadi acuan hidup manusia. Realita manusia semakin tidak bisa hidup berjauhan dari handphone adalah salah satu contoh begitu mengacunya manusia pada mesin.

Begitu juga dengan rujukan. Apa kata Google misalnya akan menjadi rujukan pembenar untuk menguatkan apa kata manusia. Putusan manusia mesti mendapat verivikasi mesin dulu sebelum running.

Berbarengan dengan itu, status manusia jadinya tertaut dengan peranan mesin. Semakin manusia menguasai teknologi semakin tinggi statusnya. Simbol martabat manusia begeser dari yang hayati ke mesin ,yang alamiah ke yang buatan akibatnya simbol jadinya lebih penting dari realita. 


Dengan mesin buatannya  manusia semakin praktis mencapai tujuannya. Mesin ciptaan manusia ini akan menjadikan suatu pekerjaan menjadi lebih “akurat” dan “presisi” . Dengan begitu sebahagian keresahan manusia di atasi oleh mesin, bahkan tergantikan oleh mesin .  


Hasil kerja yang presisi dan akurat pada mesin berkaitan dengan apa yang benar dan yang salah. Mesin akan cenderung lebih benar dari manusia dalam hal kemampuan mengubah informasi menjadi produk akhir kebutuhan manusia. Bagi mesin tidak ada pertimbangan “baik-buruk” , yang ada hanya penilaian “benar-salah” atas apa yang diinput pada mesin. Yang benar di olah ,yang salah juga diolah . Di sinilah anomali penggunaan mesin bermula. Keterlepasan pengolahan sesuatu yang hanya bertaut pada benar-salah tanpa pertimbangan baik-buruk akan menghantar manusia pada perilaku “manusia yang hanya menyerupai manusia saja”. Manusia tidak lagi menjadi manusia  sebagaimana kodratnya . Manusia menjadi mesin yang menyerupai manusia, karena sebagian entitas manusianya akan dan sudah hilang. 

Anomali itu hari ini makin nyata hadir dalam societas manusia yang semakin tidak taat dengan hukum yang di buatnya sendiri. Yang menjadi rujukan hanyalah asal bermanfaat , itu sudah cukup , tidak penting dengan prosesnya apakah itu baik atau tidak. Mengapa ? karena otak manusia mengalami kemajuan di aspek berpikir namun mengalami kemunduran di aspek mengerti (pada sesi lain kita akan ngobrol tentang hal ini). 

 

Pragamatisme sebagai sebuah aliran filsafat , mengabaikan kebenaran sebagai sesuatu yang tidak mutlak ,asal saja hasil yang di peroleh ada gunanya bagi manusia . Baginya tidak penting kebenaran oyektif yang melatarinya. Pragmatisme lebih pada tataran asal praktis mencapai keinginannya. Aliran pragamatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan seputar kebenaran yang bersifat metafisis. 

Bagaimana pandangan ini diakurkan dengan aliran lain yang sedang menjaga kebenaran metafisis sebagai syarat mencapai kebaikan bersama ? ikuti tulisan saya berikutnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kemalangan maupun kesenangan permanen itu ilusi

MBAH PON TAK MENGENALNYA

Di PHK , Sedih tetapi jangan Sepi