Sosia Fobia kasus Pemukulan Wartawan On Line Fabi Latuan
| oleh Eddy Ngganggus |
Adanya semacam sosio fobia atau ketakutan terhadap orang , masyarakat, komunitas tertentu , menjadi sebuah postulat atau asumsi yang dipakai sebagai pangkal dalil yang di anggap benar, saya sematkan pada kasus pemukulan wartawan on line Fabi Latuan. Dendang jurnalismenya mungkin pernah atau sedang “menggigit” sesuatu ,sehingga sesuatu itu merasa sakit. Tidak semestinya di jawab dengan bogem, selain ini merupakan cara bar-bar yang sudah tidak relevan lagi di era saat orang sedang mengedepankan otak bukan otot dalam menyelesaikan masalah. Mengapa cara fictim ini masih saja ada di era orang sedang mendesian bumi menjadi Firdaus dengan aneka kecanggihan otaknya ? Berikut pendalaman saya atas hal ini . Adalah termis SOSIOPAT yang bermakna hilangnya kesanggupan menyesuaikan diri dalam diri sesorang atau bahkan lebih luas dalam masyarakat. Bila Fabi Latuan dalam dendang juranalismesnya menyanyikan elegi atau nyanyian yang mengandung ratapan atau ungkapan sedih atas satu kondisi di negeri kita, maka baiklah itu di kontraskan oleh yang merasa itu disasar kepadanya dengan dendang elegi riang . Elegi dan riang kedua kata ini saling bertentangan secara terminologi. Dua pertentangan makna sedang dijalani pada kasus pemukulan wartawan on line kita ini. Si pemukul tentu riang dengan karya bar-barnya . Sebagai orang yang maniak dengan kecanggihan otak manusia saya tergugah untuk menelusuri akar soal mengapa para preman memilih gaya fasis menanggapi barisan kata-kata petugas jurnalis. Tulisan jurnalis pada taraf tertentu adalah cermin yang memantulkan realita dalam bentuk rangkaian kata yang menarasikan kondisi sosial, ekonomi, politik , religi dan sebagainya. Cermin tidak mungkin menipu memantulkan obyek yang tertangkap olehnya. Bagi orang yang tidak siap menyaksikan kutukan Tuhan atas buruk rupa yang dipunyainya, tidaklah usah memandang cermin itu. Karena anda bisa trauma menyaksikan buruknya wajahmu di cermin . Gejala fobia terhadap cermin dikenal dengan sebutan Spektrafobia . Gejala spektrafobia rupanya sedang mengidap hampir sebagian orang yang tidak sanggup beradaptasi dengan arus koreksi orang-orang kritis atas ragam fenomena anomaly yang ada di sekitar kita . Pepatah lama mengatakan buruk rupa cermin di belah. Ini terjadi karena fobia atas cermin , ketakuan tak terbendung atas pantulan cermin atau wajah buruk yang empunya wajah. Pemukulan terhadap jurnalis Fabi Latuan adalah satire atau sindiran atas kualitas intelek makhluk hidup yang bertubuh manusia. Bukannya kualitas wajah yang diperbaiki tetapi malah cermin yang di belah. Lalu apa hasilnya ? apakah wajah akan berubah menjadi lebih baik ? Kalah jadi arang menjadi jadi abu. Itulah gambaran yang bisa diberikan sebagai hasil akhir dari pilihan untuk bersikap bar-bar. Sekarang kalian yang telah melakukan aksi fictim ini saya ajak untuk pulang dan pergi poleslah wajahmu dengan ragam latihan otak, agar lebih cerdas lagi dalam menerima perbedaan pendapat, dengan olah pikir agar lebih siap beradu gagasan secara elegan dengan orang lain . Ini membutuhkan kekuatan pada otot akal dan otor rasa , tidak hanya pada otot lengan, atau bagian tubuh fisik lainya. Berlatih lewat Pendidikan akademis yang lebih baik lagi, lewat Pendidikan sosio kultur yang beradab di sekitar habitus orang lain di sekitar yang telah memiliki derajad keilmuan yang lebih tinggi . Apa ilmu yang tinggi itu ? ilmu yang tinggi adalah ilmu yang syarat dengan nilai kebaikan dan kebenaran. Jika saat ini kalian sudah salah , ingatlah bahwa hidup itu adalah seni menggambar yang membutuhkan penghapus. Kalian masih punya kesempatan untuk menghapus bagian goresan yang kurang menarik. Datang meminta maaf , saling berangkulan sambil berjanji dalam hati untuk tidak mengulangi kembali kejadian serupa di waktu mendatang.*
Komentar
Posting Komentar