Realitanya, lebih banyak orang mati karena kelebihan berat badan ketimbang stunting

Oleh Eddy Ngganggus


Bila saat ini ada kejadian orang mati karena makanan , hal itu lebih disebabkan oleh karena kelebihan makanan ketimbang mati karena kelaparan. Kalaupun ada , jumlah yang mati karena kelaparan pasti lebih sedikit. Ini sebagian berkat potensi manusia modern yang sukses mengendalikan kosmis pertanian dan subsektornya , kosmis ekonomi, kosmis kesehatan, kosmis industri . Orang lebih banyak mati karena kelebihan berat badan ketimbang stunting, orang lebih banyak mati karena over dosis makanan ketimbang gizi buruk. Kelebihan mengkonsumsi makanan malah justru yang menjadi sumber bahaya dan akhirnya menjadi sumber keresahan baru saat ini. Soalnya di mana ? ini terjadi karena kerinduan manusia kembali cara mula-mula manusia purba hidup. Cara mula-mula manusia mula-mula atau manusia pra sejarah hidup adalah rasionalitas di pakai hanya untuk memuaskan sensasi rasa. Absennya rasionalitas mengendalikan diri untuk bekerja sama dengan alam dalam hal taat mengikuti waktu alam, bahwa segala sesuatu ada limitnya. Upaya manusia agar alam menunda proses alamiah yang sudah merupakan bawaan alam, tidak diimbangi dengan kecepatan ia (manusia) mengantisipasi cepatnya laju begerak ciptaanya ini menggeser akal manusia dari rasa humanitas . Humanitas manusia diseret tertinggal di belakang  oleh rasional yang kehilangan kendali. Saat ini model manusia purba menggunakan akalnya kembali diseret oleh manusia modern ke dalam kehidupannya, lewat gaya hidup yang mengedepankan sensasi rasa. Proses alami yang sudah tertentu waktu dan batasan atau  limitasinya , sudah bisa direkayasa oleh mesin-mesin temuannya untuk ragam maksud, salah satunya adalah demi memuaskan sensasi rasa itu tadi. 


Mementaskan kesanggupan sejati manusia

Lapar akal mudah sekali menyeret orang ke meja makan, walapun perut belum teras lapar. Mekanisme tidak terkendali di atas meja makan ini menunjukan lapar akal mudah sekali menyulut orang untuk menjadi kenyang berlebihan akan makanan. Akal kita begitu cepat rasa lapar jika melihat makanan entah itu gorengan yang dijajaki di pinggir jalan, cake yang di pajang di etalase, selain rokok, sopi, laru, tuak, padahal perut kita masih teras kenyang, atau tubuh tidak butuh rokok, laru, tuak . Akal kita begitu “lapar” begitu melihat tas baru, hand phone baru, pakaian model baru, Tv model baru, mobil model baru, alat music model baru, alat elektronik model baru, dan lain lain, padahal di rumah masih sulit menempatkan barang baru karena sudah padat terisi barang-barang lama bahkan beberapa di antaranya belum di pakai, ataupun kalau sudah di pakai baru beberapa kali saja.  Lapar akal jauh lebih bahaya dari lapar perut, karena lapar akal bersifat menyebar , apalagi platform inang penyebarnya di HP yang begitu canggih bisa menyebar berita dalam se persekian sekon sudah bisa tiba di jutaan pasang pasang mata lewat bacaan pada genggaman tangan orang-orang yang memiliki android. 
Kelaparan makanan bisa di atasi , namun muncul kelaparan akal. Manusia begitu kalap ketika berhadapan dengan piring nasi, piring pizza, mangkok bakso, es krim, sopi, laru, tuak , rokok.  Lalu bagaimana berhadapan dengan realita ini ? tinggal pertimbangkan 3 hal ini saja yakni, menerima atau menuruti umpan di meja makan ?, atau mengingkari bahaya kalap berhadapan dengan meja makan, atau melawan sajian berlebihan di meja makan. * 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kemalangan maupun kesenangan permanen itu ilusi

MBAH PON TAK MENGENALNYA

Di PHK , Sedih tetapi jangan Sepi